Kisah
Segelas Susu
Suatu hari, Khalifah Abu Bakar al-Shidiq kembali dari pasar.
Di rumah, beliau melihat segelas susu murni di atas meja. Karena rasa haus
akibat aktivitas yang melelahkan, beliau meminum susu tersebut tanpa curiga
sedikitpun tentang asal-usul segelas susu tersebut.
Saat itu, pembantu beliau masuk rumah dan menyaksikan
tuannya telah menghabiskan segelas susu yang dia letakkan di atas meja,
selanjutnya ia berkata, ''''Ya Tuanku, biasanya sebelum engkau memakan dan
meminum sesuatu pasti menanyakan lebih dulu asal-muasal makanan dan minuman
tersebut, mengapa sewaktu meminum susu tadi engkau tidak bertanya sedikitpun
tapi langsung meminumnya?''"
Dengan rasa kaget, Abu Bakar bertanya, ''''Memangnya susu
ini dari mana?''"
Pembantunya menjawab, "Begini, ya Tuanku, pada zaman
jahiliyah dulu dan sebelum masuk Islam, saya adalah kahin (dukun) yang menebak
nasib seseorang. Suatu kali setelah saya ramal nasib seorang pelanggan, dia
tidak sanggup membayar karena tidak punya uang, tapi dia berjanji suatu saat
akan membayar. Tadi pagi saya bertemu di pasar dan dia memberikan susu itu
sebagai bayaran untuk utang yang dulu belum sempat dia bayar.''''
Mendengar itu, langsung Abu Bakar memasukkan jari
telunjuknya ke dalam mulut dan mengoyang-goyangkan anak lidah agar muntah.
Beliau berusaha untuk mengeluarkan susu tersebut dari perutnya, dan tidak ingin
sedikit pun tersisa. Bahkan dalam riwayat itu disebutkan, beliau sampai pingsan
karena berusaha memuntahkan seluruh susu yang telanjur beliau minum dan
berkata, ''''Walaupun saya harus mati karena mengeluarkan susu ini dari perut
saya, saya rela.''''
Banyak disebutkan dalam kisah para sahabat Nabi, para salafu
al shalih sangat menjaga setiap makanan dan minuman sebelum masuk ke dalam
perut. Ketika mereka sudah benar-benar yakin bahwa makanan tersebut halal
seratus persen, barulah mereka berani memakannya, tapi kalau masih berbau
syubhat apalagi haram mereka tidak mau memakannya, walaupun harus kelaparan.
Para salafu al shalih sangat takut kepada hadis Nabi, ''''Setiap daging yang
tumbuh dari makanan yang haram, maka api neraka lebih pantas untuknya.''''
Disamping itu, mereka sangat yakin bahwa makanan adalah
sumber tenaga dan inspirasi untuk tubuh dan otak. Makanan yang halal akan
membuat tubuh gampang untuk melaksanakan ibadah.
Kehati-hatian mereka juga untuk keluarga. Mereka tidak mau
memberi makanan yang haram kepada keturunannya agar melahirkan sifat terpuji,
karena yakin ketika keluarga diberi makanan yang haram, jangan diharapkan istri
dan anak kita akan membawa kedamaian di tengah keluarga. Sang anak dan istri
akan jauh dari sifat shalih dan shalihah. Istri-istri di zaman sahabat dan
salaf al shalih selalu berpesan kepada suaminya sebelum berangkat kerja,
''''Wahai suamiku, kami kuat menahan lapar, tapi tidak kuat terhadap api neraka,
carilah rezeki yang halal untuk kami.''"
Sumber : http://aqdw.pun.bz/kumpulan-cerpen-hikmah-dan-motivasi.xhtml
No comments:
Post a Comment